Angin sedikit kencang menderu jalan siang itu. Kumparan pasir dan daun-daun terlihat. Menepi. Di jalan-jalan beraspal. Siang sudah menunjukkan kekuasaannya. Matahari tepat di ubun-ubun. Bunyi gasir dari pohon jalanan ikut meramaikan. Awan masih jarang. Biru langit serasa laut yang akan tumpah ke bumi.
hati ada yang janggal. Kenapa tidak meredam juga. Terjerembab rindu untuk ibu. Baru kemarin meninggalkan beliau. Dengan berbekas sakit setelah tiga hari berturut-turut ricuh. Tak ingin tahu menahu keinginan beliau.
“Ibu keras!” simpulku saat itu dalam hati.
“Memang seperti itu kan?” tiba-tiba aku bertanya pada diriku sendiri.
“Ibu tidak memahami perasaanku!” ego berucap tanpa pandang bulu
“kalau begitu, kenapa kau tidak memahami perasaan beliau terlebih dahulu?”
pertanyaan naluri datang lagi
“ibu tidak pengertian!” statemen emosi muncul lagi
“seperti apa? Tidak pengertiannya apakah seperti menyekolahkanmu dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi? Tidak pengertian dengan membanting tulang demi laptop, kendaraan, dan segala kebutuhanmu saat ini? Tidak pengertian dengan selalu mengingatkan ketika ibadahmu lemah, puasamu, shalatmu? Tidak pengertian dengan selalu telaten menemani belajar untuk pekerjaan rumahmu? Tidak pengertian seperti memasakkan dan menghajarkan masakan dan kue-kue kecil untukmu? Tidak pengertian dengan mengajar alif, ba’, tak setiap malam dan shalawat sebelum kau beranjak tidur? Tidak pengertian dengan selalu membuatkan pakainmu dari jahitannya? Tidak pengertian dengan selalu memperbaiki penerangan lampu kamarmu, meja belajarmu, tempat tidurmu, dan atap kamarmu jika bocor saat hujan datang? Itukan ketidak pengertian beliau?!”
“aku..” kata-kata itu tidak berlanjut
“bukan itu maksudku” lanjutku
“lalu seperti apa? Kau memang aneh.” Nurani berkata
“aku ingin ibu seperti saahabatku sendiri, aku ingin beliau cerita sekedar menumpahkan rasa yang selama ini dipendamnya, begitupun diriku. Aku hanya ingin kita bisa saling memahami, satu sama lain. Aku ingin ibu sekedar menanyakan “nduk, pun maem? Jangan lupa belajarnya”, itu saja. Kadang ibu sibuk sendiri ketika aku pulang, sekedar memarahi, tapi aku tahu itu salah. Tapi, aku juga ingin diperhatikan oleh beliau, rangkulan hangatnya, sekedar ucapan “sayang”, dan nasehat dengan suara merdunya. Akan tetapi…….. Astaghfirullah, maafkan aku ibu, seharusnya aku tidak egois seperti ini. Lebih mengerti keinginan sederhanamu, agar aku tumbuh menjadi anak yang sholehah, patuh dan berbakti padamu ibu. Astaghfirullahal’adziimmm..” tangisan pecah di atom siang. Satu persatu terberai, terurang dari ikatan keangkuhan dunia.
“seharusnya kau lebih memahami apa yang diinginkan ibu dengan sederhana, hilangkanlah segala su’udzon itu, karena akan menjauhkan dirimu dari ikhlas seorang ibu. Sedikit banyak sakitmu, lebih sakit lagi ibumu. Masa sembilan bulan itu sudah lebih dari cukup untuk semua kesusahan. Balitamu dengan senyum yang ceria, beliau terima. Tangismu tanpa sebab, juga beliau terima. Menyuapimu, dengan bujukan rayu, terkadang cubitan kecil itu diberikan saat kau tak mau makan, akan tetapi ubitan lembut dari hati seorang ibu. Bahkan, kata-kata “uh,” yang tak sengaja terucap lebih keras daripada cubitan itu.
Apakah kau ingat ‘ego’? hari dimana ibumu sangat terguncang. Beliau tersedu sendiri, terpojok, tiada berucap sepatah katapun. Saat itu kau masih belum mengerti apa-apa, sakaratul mautpun entah apa, kau masih balita. Hanya sibuk bermain-main tanpa mengerti keadaan hati ibumu yang sebenarnya. Ketika ayahmu tiada.
Apakah kau ingat ‘ego’? selama tiga hari setelah kejadian itu, kau tiba-tiba mogok makan. Ibumu kebingungan, dalam hatinya berkata ‘Ya Alloh, kenapa sikecil tidak mau makan, kuatkan hamba sekuat mungkin’. Ibumu bingung harus melakukan apa. Belum juga sembuh sedih, sakit, dan kekecewaan dihatinya, kau malah berbuat ulah. MENGERTILAH, ibumu tetap sabar. Hingga sekarang!
Mungkin sabar beliau berbeda. Tidak seperti ibunda lain. Yang selalu membawakan bekal ke sekolah. Mengantar dan menunggui hingga bel sekolah berbunyi. Tapi beliau selalu memantaumu dari kejauhan, dengan doa dan dukungannya.
Mungkin beliau luarbiasa. Telah mendidikmu hingga menjadi sekarang. Itu sudah sangat luar biasa. empat peran sekaligus beliau tangani, sebagai teman, guru, ayah, dan ibu. Kau seharusnya bangga memiliki ibu seperti ibumu.
Mungin ibumu itu sangat rela. Mengikhlaskan ayah, mengikhlaskanmu untuk tak sering lagi dirumah semenjak kau tinggal di Asrama MTs. Mengikhlaskan kerinduannya setiap hari kepadamu. Jikalau beliau boleh berkata, ‘nak, kau jangan kemana-mana. Tetap di damping ibu, temani ibu, mari kita curahkan hati kita berdua, mari nak ibu ajarkan kau bersenandung syukur akan nikmat IlahiRobbi yang luar biasa ini hingga ibu dikaruniai anak sepertimu’.
Mungkin ibu memang pemarah. Ingat kau saat itu, bermain seharian tak tahu waktu, pulang-pulang kau di sabit dengan sabuk ayahmu. Ingatkah kau saat itu, pulang sekolah tak langsung pulang hingga kau terkunci di luar rumah seharian tak boleh masuk. Ingatkah kau saat di suruh membantu bersih-bersih, ibu marah luarbiasa karena kesalahanmu. Okey, saat itu mungkin kau bilang ‘ibu jahat, ibu tidak sayang padaku, ibu tidak mengerti keinginanku, apa aku memang bukan anak ibu’. Kata-katamu sungguh lucu ‘ego’. Bodohnya kamu dengan egomu. Jika di kroscek, semua itu memang kesalahanmu.
Ibu sangat menyayangimu, mengertilah itu. Ibu adalah permata yang sangat berharga untukmu. SADARLAH ego, peluklah dia ketika kamu pulang, cium tangannya, cium kakinya, minta maaflah kepadanya, hingga righo itu akan terbuka lebar untukmu.
Ego berkata
‘IBU, MAAFKAN LIA’
‘IBU, LIA MENCINTAIMU, SUNGGUH-SUNGGUH MENCINTAIMU KARENA ALLOH SWT’
satu persatu airmata itu, dengan diselingi angin, hingga jatuh bersama keegoisannya.