Tidak terlalu pagi untuk memulai kegiatan hari ini. Semilir angin dari bukit jelas-jelas sudah mengisi ruang paru dan alveoli, segalanya menjadi segar. Pagi di bulan Ramadhan yang sangat berbeda. Bukan bagi saya saja, termasuk bagi teman-teman sekelompok. Selama satu bulan ini kami tinggal didesa dibawah bukit batu. Sudah terhitung seminggu lebih terlewati, diikuti datangnya bulan ramadhan kami sudah ada disini untuk menjalankan tugas kuliah. Satu bulan bukan waktu yang lama. Ah… dari pada mengitung hari dengan jari yang tidak lebih dari sepuluh, lebih baik lekas bergegas memenuhi tugas. Ada yang sudah menunggu di balik bukit sana.
Madura, saat saya mendengar kata itu, yang terbayang adalah bahasa yang susah, orang yang keras, bentak-bentak, dan adat yang khas penduduk sana yang sudah tidak asing ditelinga. Lihat saja, jika ada orang yang semena-mena, logatnya keluar ‘jangan cem-mace sampeyan’. Hanya gurauan saja, terlalu banyak menyaksikan tayangan sinetron mungkin. Berbuah manis, saat beberapa kali ikut survey, ternyata mereka ramah dan baik, InsyaAllah betah. Dan jika kalian pergi ke pulau apa saja di Indonesia, pastilah akan menemukan orang ini, orang Madura yang bernyali tinggi dan tekad baja.
Pagi ini, dari teman-teman kelompok, hanya empat orang saja yang diberangkatkan mengajar sukarela di Sekolah Dasar dan Ibtida’iyah di atas bukit sana, di Madura. Kami sengaja bergiliran. Dengan alasan transportasi yang kami bawa sangat minim, ada yang fokus mempersiapkan program lain untuk masyaraakat, dan keamanan perlu di siagakan di penginapan. Pak klebun sudah mewanti-wanti agar kami berhati-hati selama disini. Banyak yang diincar dari orang asing. Apa lagi bulan Ramadhan, maling berkeliaran mengintai. Kami jadi begidig.
Kami berangkat setengah jam lebih awal. Medan sedikit kurang bersahabat memang. Sepanjang perjalanan, mungkin hanya sepertiganya saja yang beraspal, selebihnya off road. Batu sana-sini, berkelok, naik turun, bongkahan batu besar berserakan. Ada satu jalan yang tidak memungkinkan kami bekendara. Terpaksa memutar dan itu membutuhkan waktu lama. Waktu mengajar terpotong jika kami berangkat mendekati jadwal. Saat ini masih lumayan. Musim kemarau tiba, itu lebih baik. Jalanan tidak becek. Bisa ditebak, apa yang terjadi jika saat musim hujan. Ah, kendala itu tidak jadi masalah ketimbang penantian sesorang di atas bukit sana.
Sekolah ini mungkin pantas disebut taman bermain. Sekolah hanya memilki dua ruang kelas. Satu ruang kelas untuk ruang guru dan satunya lagi tempat siswa-siswa belajar, dari tingkat satu hingga enam. Kabar dari bapak kepala sekolah, di awal tahun pelajaran baru, terhitung siswa dan siswi yang tercatat dari kelas satu hingga kelas enam semuanya berjumlah 50 orang. Akan tetapi, sekarang hanya sembilan orang yang belajar, total dari kelas 1-6. Memang benar, setelah kami masuk. Satu, dua kami hitung, hanya bisa tepuk jidat, siswa bapat dihitung jari, sepuluhpun tak sampai. Mereka cengar-cengir dan toleh kanan-kiri ke teman-teman samping mereka. Mungkin tadi pagi menyabet sembarang kertas di tumpukan Koran bapaknya, satu buah buku yang entah lepas dimana cofernya dan sebuah pensil buntung. Pak zainuri, kepala sekolah sekolah tersebut sudah tegap bersemangat di depan kelas menyambut kami.
Pagi itu, aku mengajar siswa kelas lima, hanya dua orang. Namanya Mad dan Ujang. Sebenarnya itu bukan nama asli mereka. Mad memiliki nama yang lumayan bagus, muhammad jaelani. Mungkin agar lebih singkat dan mudah dihafal, dia dipanggil Mad. Yang walaupun masih sedikit persis dengan nama aslinya. Berbeda dengan Ujang yang nama aslinya Agustiar. Entahlah, mengapa bisa berubah menjadi ‘Ujang’. Urusan kali ini kita tidak terlalu bedebah dengan nama, tetapi matematika.
Ketika saya bingung mentafsirkan nama-nama mereka. Mungkin mereka lebih bingung lagi ketika saya sudah mulai dengan angka-angka. Seolah-olah, angka-angka yang saya tuliskan bagi mereka seperti ketika saya menafsirkan kata ‘Agustiar’ menjadi ‘Ujang’. Ah, menurutku angka ini terlalu sederhana. Bagi siwa sekolah dasar tingkat dua diperkotaan, pasti sangat mudah menjawabnya. Tapi dua kawanan tadi sangat berbeda. Mereka kebingungan sepertinya.
Saya memulai dengan pelajaran pembagian.
“Kalian sudah bisa pembagian?” kataku mencairkan suasana.
Mereka hanya mengangguk. Terlihat dari sepasang wajah mereka yang lugu dan bingung. Entah dari pengucapan saya atau apalah, penampilan mungkin. ingat cerita dari perangkat desa. Desa sini kurang akrab dengan bahasa Indonesia, mereka ashobiah dengan bahasa Madura. Hal itu mungkin yang menyebabkan mereka tambah cengar-cengir setelah saya tanya dengan bahasa indonesia.
“Ok, sekarang kakak tanya, 9 : 3 berapa?” saya sengaja memulai pelajaran pembagian dari angka yang kecil. Astaga, saya mendapatkan jawaban aneh lagi dari mereka. Jawaban dengan wajah cengar-cengir, pura-pura berhitung lama sekali, dan saling sikut.
“Ok, yang bisa jawab silahkan tulis di depan” kataku sedikit mencairkan suasana. Sekali lagi, mereka saling bersikutan. Akhirnya, saya turun tangan langsung, mendampingi mereka mengitung dengan jadi. Dengan suara yang tinggi, agar mereka fokus pada materi. Dengan mata yang hampir copot karena mendelik, meyakinkan mereka, agar materi benar-benar masuk ke otak dan tercerna, hingga mengasilkan jawaban dari pemikiran mereka dari 9 : 3.
Saya bersungut-sungut saat menjelaskan materi pembagian sederhana itu. Bagaimana tidak, lihat polah mereka, terutama si Mad, yang sedari tadi sibuk dengan mobil buatannya sendiri. Entah itu mobil atau kaleng menggelinding. Kaleng susu kosong yang tengahnya diberi kayu tepat ditengah diameter kaleng yang ujung kayu tersebut diikat benang dan tergabung jadi satu, untuk bisa menggelinding, ditambah satu benang panjang yang diikat dengan sebilah kayu panjang. Benar-benar karya yang orisinil anak negeri. Beda mad, beda lagi Ujang. Dia sedari tadi sibuk mengusili dua siswa SD kelas dua yang ada di samping bangku. Ribut sendiri. Sekali saya tegur, beberapa kali mereka melakukan hal yang sama, membuat keributan. Saling timpung dengan benda apa saja yang ada disekitar mereka. Alamak, sekali lagi mata saya melotot.
Mungkin apa yang saya rasakan sama dengan teman yang lain. Bedanya terletak di siswa yang mereka dampingi. Siswa kelas dua masih bisa dikendalikan, meskipun tidak bisa diam. Siswa kelas tiga nurut-nurut, soalnya mereka perempuan semua yang lebih asik belajar daripada mengusili kawan mereka. Siswa kelas empat, lebih mudah lagi, karena hanya satu orang dan hobinya membaca ceria khayalan. Tinggal ditodong dengan buku cerita, dia diam seribu bahasa. Bersungut-sungut memahami isi bacaan. Apatis.
Kemudian, kemana siswa kelas satu dan enam? Pertanyaan mudah, kelas satu masih malu-malu belajar dan harus ditemani ibunya. Sedari tadi hanya celingukan di depan pintu, tidak berani masuk. Satu senyum dari kawan kami untuk memanggilnya, dia malah lari, nangis memanggil ibunya. Astaga. Siswa kelas enam, juga hanya ada satu. Nasib. Dia belajar ketika menjelang luburan Idul Adha saja, selebihnya membatu dagang orangtuanya di Yogya.
Satu, dua kali saya jelaskan. Muncul setitik kepahaman di wajah mereka. Alhamdulillah, lega. Tidak habis pikir, dulu saja ketika saya duduk di Sekolah Dasar, pelajaran pembagian sudah diberikan di kelas tiga. Kelas lima berlanjut ke materi yang lebih berbobot serta pengaplikasian dalam saol cerita. Itu dulu, sewaktu saya SD. Sekarang? jangan tanya, jaman teknologi saat ini, anak sekolah di taman kanak-kanak pasti sudah tahu. Tetapi berbeda dengan mereka berbeda. Mereka sungguh spesial. Saya beri soal sedikit-demi sedikit. Wajah mereka sumringah. Lihat, jika sudah faham mereka lebih semangat. Ternyata wajah jelek saya serta tenaga tadi tidak sia-sia, sampai tenggorokan kering. Air, eits, inget bulan puasa.
Ujang terlihat sangat mahir di mata pelajaran ini. Lihat, dia selalu semangat mengisi jawaban. Jika Mad salah jawab, Ujang yang membenarkan dengan sedikit komentar dan menyalahkan Mad dengan logat maduranya yang saya sendiri kurang tahu. Mad hanya bersungut. Sebal. Ujang tertawa lepas. “Kakak, aku suka matematika!” aku tambah dengan pembagian cepat, Ujang sumringah. Mad bersungut, menambah lekukan di tangan. Time to break. saya sengaja memberikan waktu istirahat mereka selama lima menit. Saya rasa mereka perlu istirahat, dua materi tadi sudah lebih dari cukup untuk materi sepantaran mereka. Sudah lebih malah. Rencana setelah istirahan, saya lanjut dengan latihan soal saja, di jadikan PR bisa.
Situasi mulai berbeda. Ujang masih tetap mengusili siswa kelas dua di bangku sebelah. Tapi, kemana Mad? Astaga, dia tidah ada kelas. Saya langsung lapor kepada guru yang berjaga di ruang sebelah.
“Pak, Mad tidak ada dikelas” kataku kepada pak Zainuri sambil mencari-cari mungkin dia bermain di halaman depan. Tapi nihil.
“Sebentar, saya carikan. Dia memang selalu begitu, malas sekali disuruh sekolah”
Saya dan beliau mencari Mad disekitar sekolah. Akhirnya ketemu di halaman samping.
“Ga mau sekolah!” tiba-tiba kata itu terlontar begitusaja dari Mad.
“Ayo balik ke kelas Mad!” bentak pak Zainuri.
“Ga. Mad mau pulang” Jawabnya sambil memainkan mobil orisinilnya. Saya hanya bisa memasang wajah senyum dan ikut membujuk Mad untuk kembali ke kelas, tidak begitu paham dengan obrolan mereka dengan bahasa Madura. Kurang lebihnya terjemahannya seperti itu.
Berbagai bujuka rayu saya dan pak Zainuri, akhirnya Mad masuk kelas. Hanya bisa bernafas lega. Saya mencoba bertanya.
“Mad mau belajar apa? kalau ga suka matematika Mad bilang ke kakak. Jadi bisa belajar yang lain” tanyaku lembut. Wajah kecil itu menunduk. Sesekali melirik kemudian kembali memainkan mobil orisinilnya. Ujang kocar-kacir dikejar dua anak kelas dua.
“Sukanya belajar B. Indonesia” Jawabnya lirih. Saya mengulum senyum.
“Wah, B. Indonesia ya. Bagus itu. Ok, kita belajar cerita rakyat ya. Ini kakak bawa buku cerita rakyat. Mad sudah bisa membaca kan? Coba baca cerita Kancil dan Monyet ini” jawabku sambil memberikan buku cerita.
Tidak perlu diperintah dua kali. Mad langsung membaca cerita itu dengan nada tinggi. Entah notasi yang digunakan koma menjadi titik atau sebaliknya. Wajahnya kembali seperti semula. Ujang masih sibuk dengan dua anak kelas dua. Sekarang saling timpuk dan duel.
Terkadang saya berfikir, dalam kegiatan belajar mengajar, lebih baiknya menurut dengan siswa yang sedang kita ajar. Mereka lebih ingin belajar apa, kita turuti. Setelah awal yang menyenangkan, baru kita masuki merekadengan materi-materi yang sudah di sinergiskan. Yang belajar yang menentukan mereka mau belajar apa. Meskipun latar saya bukan pendidik, setiaknya saya mengerti bagaimana mengambil hati objek kita, dan membuat pelajaran atau materi lebih cair kedepannya. Lihat, Mad masih semangat membaca kisah kancil dan monyet hingga berbusa-busa. Ujang yang mulai latihan soal pembagian, matanya berbinar-binar, semangat.
Mereka tidak memiliki keahlian belajar, sarana cukup, serta guru yang selalu ada. Mereka hanya memiliki semangat, semangat mencari pengetahuan baru dan bersahabat. Lihat saja umar dan wahyu, siswa kelas dua, meski mereka masih belum bisa membaca, semangat belajarnya tinggi, tidak masalah jika huruf ‘A’ menjadi ‘M’ atau yang lain. Saya percaya, kelk mereka akan lebih hebat, hanya masalah waktu dan perhatian saja. Nur, siswa kelas tiga, berjilbab, sangat cerdas, semangat, dan suka menirukan salah satu aksinya girlband Indonesia, selalu datang lebih awal dari yang lain. Toha, sama cerdasnya. Dia yang sering memberitahu teman-teman yang lain jika ada yang belum dimengerti di mata pelajaran dasar. Ahmad, dia sangat jago membuat layang-layang, tak akan patah bertarung. Ada satu yang tertinggal, Aini. Ah.. terlalu sederhana jika diceritakan disini.
Dua jam waktu yang sangat singkat. Kelas dimulai pukul tujuh dan berakhir pukul sepuluh pagi. Meski singkat, senyum mereka tetap abadi. Semangat belajar masih memancar. Tak peduli apa yang dikenakan, selama buku dan pensil masih ada. Mereka akan terus menulis. Menulis jejak-jejak semangat dan harapan. Semoga kelak yang dicita-citakan dapat terwujud.
Hanya gurauan atau apa. berbicara tentang cita-cita. Dari salah seorang siswa saya tanya.
“Umar kalau gede ingin jadi apa?”
“Jadi… Anak Gaul kak!” jawabnya singkat dan mencengangkan “Jadi bisa main ke Roro mart tiap hari”. Salah satu tempat belanja paling lengkat seantero bukit batu itu. Dibanding super atau minimarket lainnya, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar.
Desa berdebu. Diatas bukit batu. Beribu impian jadi satu. Semoga kelak mereka menjadi pijakan utama kesuksesan disana. Semangat.
(bisa di edit lg, please gives comments)