Arsip

Pesona Bukit Harapan

 

Tidak terlalu pagi untuk memulai kegiatan hari ini. Semilir angin dari bukit jelas-jelas sudah mengisi ruang paru dan alveoli, segalanya menjadi segar. Pagi di bulan Ramadhan yang sangat berbeda. Bukan bagi saya saja, termasuk bagi teman-teman sekelompok. Selama satu bulan ini kami tinggal didesa dibawah bukit batu. Sudah terhitung seminggu lebih terlewati, diikuti datangnya bulan ramadhan kami sudah ada disini untuk menjalankan tugas kuliah. Satu bulan bukan waktu yang lama. Ah… dari pada mengitung hari dengan jari yang tidak lebih dari sepuluh, lebih baik lekas bergegas memenuhi tugas. Ada yang sudah menunggu di balik bukit sana.

Madura, saat saya mendengar kata itu, yang terbayang adalah bahasa yang susah, orang yang keras, bentak-bentak, dan adat yang khas penduduk sana yang sudah tidak asing ditelinga. Lihat saja, jika ada orang yang semena-mena, logatnya keluar ‘jangan cem-mace sampeyan’. Hanya gurauan saja, terlalu banyak menyaksikan tayangan sinetron mungkin. Berbuah manis, saat beberapa kali ikut survey, ternyata mereka ramah dan baik, InsyaAllah betah. Dan jika kalian pergi ke pulau apa saja di Indonesia, pastilah akan menemukan orang ini, orang Madura yang bernyali tinggi dan tekad baja.

Pagi ini, dari teman-teman kelompok, hanya empat orang saja yang diberangkatkan mengajar sukarela di Sekolah Dasar dan Ibtida’iyah di atas bukit sana, di Madura. Kami sengaja bergiliran. Dengan alasan transportasi yang kami bawa sangat minim, ada yang fokus mempersiapkan program lain untuk masyaraakat, dan keamanan perlu di siagakan di penginapan. Pak klebun sudah mewanti-wanti agar kami berhati-hati selama disini. Banyak yang diincar dari orang asing. Apa lagi bulan Ramadhan, maling berkeliaran mengintai. Kami jadi begidig.

Kami berangkat setengah jam lebih awal. Medan sedikit kurang bersahabat memang. Sepanjang perjalanan, mungkin hanya sepertiganya saja yang beraspal, selebihnya off road. Batu sana-sini, berkelok, naik turun, bongkahan batu besar berserakan. Ada satu jalan yang tidak memungkinkan kami bekendara. Terpaksa memutar dan itu membutuhkan waktu lama. Waktu mengajar terpotong jika kami berangkat mendekati jadwal. Saat ini masih lumayan. Musim kemarau tiba, itu lebih baik. Jalanan tidak becek. Bisa ditebak, apa yang terjadi jika saat musim hujan. Ah, kendala itu tidak jadi masalah ketimbang penantian sesorang di atas bukit sana.

Sekolah ini mungkin pantas disebut taman bermain. Sekolah hanya memilki dua ruang kelas. Satu ruang kelas untuk ruang guru dan satunya lagi tempat siswa-siswa belajar, dari tingkat satu hingga enam. Kabar dari bapak kepala sekolah, di awal tahun pelajaran baru, terhitung siswa dan siswi yang tercatat dari kelas satu hingga kelas enam semuanya berjumlah 50 orang. Akan tetapi, sekarang hanya sembilan orang yang belajar, total dari kelas 1-6. Memang benar, setelah kami masuk. Satu, dua kami hitung, hanya bisa tepuk jidat, siswa bapat dihitung jari, sepuluhpun tak sampai. Mereka cengar-cengir dan toleh kanan-kiri ke teman-teman samping mereka. Mungkin tadi pagi menyabet sembarang kertas di tumpukan Koran bapaknya, satu buah buku yang entah lepas dimana cofernya dan sebuah pensil buntung. Pak zainuri, kepala sekolah sekolah tersebut sudah tegap bersemangat di depan kelas menyambut kami.

Pagi itu, aku mengajar siswa kelas lima, hanya dua orang. Namanya Mad dan Ujang. Sebenarnya itu bukan nama asli mereka. Mad memiliki nama yang lumayan bagus, muhammad jaelani. Mungkin agar lebih singkat dan mudah dihafal, dia dipanggil Mad. Yang walaupun masih sedikit persis dengan nama aslinya. Berbeda dengan Ujang yang nama aslinya Agustiar. Entahlah, mengapa bisa berubah menjadi ‘Ujang’. Urusan kali ini kita tidak terlalu bedebah dengan nama, tetapi matematika.

Ketika saya bingung mentafsirkan nama-nama mereka. Mungkin mereka lebih bingung lagi ketika saya sudah mulai dengan angka-angka. Seolah-olah, angka-angka yang saya tuliskan bagi mereka seperti ketika saya menafsirkan kata ‘Agustiar’ menjadi ‘Ujang’. Ah, menurutku angka ini terlalu sederhana. Bagi siwa sekolah dasar tingkat dua diperkotaan, pasti sangat mudah menjawabnya. Tapi dua kawanan tadi sangat berbeda. Mereka kebingungan sepertinya.

Saya memulai dengan pelajaran pembagian.

“Kalian sudah bisa pembagian?” kataku mencairkan suasana.

Mereka hanya mengangguk. Terlihat dari sepasang wajah mereka yang lugu dan bingung. Entah dari pengucapan saya atau apalah, penampilan mungkin. ingat cerita dari perangkat desa. Desa sini kurang akrab dengan bahasa Indonesia, mereka ashobiah dengan bahasa Madura. Hal itu mungkin yang menyebabkan mereka tambah cengar-cengir setelah saya tanya dengan bahasa indonesia.

“Ok, sekarang kakak tanya, 9 : 3 berapa?” saya sengaja memulai pelajaran pembagian dari angka yang kecil. Astaga, saya mendapatkan jawaban aneh lagi dari mereka. Jawaban dengan wajah cengar-cengir, pura-pura berhitung lama sekali, dan saling sikut.

“Ok, yang bisa jawab silahkan tulis di depan” kataku sedikit mencairkan suasana. Sekali lagi, mereka saling bersikutan. Akhirnya, saya turun tangan langsung, mendampingi mereka mengitung dengan jadi. Dengan suara yang tinggi, agar mereka fokus pada materi. Dengan mata yang hampir copot karena mendelik, meyakinkan mereka, agar materi benar-benar masuk ke otak dan tercerna, hingga mengasilkan jawaban dari pemikiran mereka dari 9 : 3.

Saya bersungut-sungut saat menjelaskan materi pembagian sederhana itu. Bagaimana tidak, lihat polah mereka, terutama si Mad, yang sedari tadi sibuk dengan mobil buatannya sendiri. Entah itu mobil atau kaleng menggelinding. Kaleng susu kosong yang tengahnya diberi kayu tepat ditengah diameter kaleng yang ujung kayu tersebut diikat benang dan tergabung jadi satu, untuk bisa menggelinding, ditambah satu benang panjang yang diikat dengan sebilah kayu panjang. Benar-benar karya yang orisinil anak negeri. Beda mad, beda lagi Ujang. Dia sedari tadi sibuk mengusili dua siswa SD kelas dua yang ada di samping bangku. Ribut sendiri. Sekali saya tegur, beberapa kali mereka melakukan hal yang sama, membuat keributan. Saling timpung dengan benda apa saja yang ada disekitar mereka. Alamak, sekali lagi mata saya melotot.

Mungkin apa yang saya rasakan sama dengan teman yang lain. Bedanya terletak di siswa yang mereka dampingi. Siswa kelas dua masih bisa dikendalikan, meskipun tidak bisa diam. Siswa kelas tiga nurut-nurut, soalnya mereka perempuan semua yang lebih asik belajar daripada mengusili kawan mereka. Siswa kelas empat, lebih mudah lagi, karena hanya satu orang dan hobinya membaca ceria khayalan. Tinggal ditodong dengan buku cerita, dia diam seribu bahasa. Bersungut-sungut memahami isi bacaan. Apatis.

Kemudian, kemana siswa kelas satu dan enam? Pertanyaan mudah, kelas satu masih malu-malu belajar dan harus ditemani ibunya. Sedari tadi hanya celingukan di depan pintu, tidak berani masuk. Satu senyum dari kawan kami untuk memanggilnya, dia malah lari, nangis memanggil ibunya. Astaga. Siswa kelas enam, juga hanya ada satu. Nasib. Dia belajar ketika menjelang luburan Idul Adha saja, selebihnya membatu dagang orangtuanya di Yogya.

Satu, dua kali saya jelaskan. Muncul setitik kepahaman di wajah mereka. Alhamdulillah, lega. Tidak habis pikir, dulu saja ketika saya duduk di Sekolah Dasar, pelajaran pembagian sudah diberikan di kelas tiga. Kelas lima berlanjut ke materi yang lebih berbobot serta pengaplikasian dalam saol cerita. Itu dulu, sewaktu saya SD. Sekarang? jangan tanya, jaman teknologi saat ini, anak sekolah di taman kanak-kanak pasti sudah tahu. Tetapi berbeda dengan mereka berbeda. Mereka sungguh spesial. Saya beri soal sedikit-demi sedikit. Wajah mereka sumringah. Lihat, jika sudah faham mereka lebih semangat. Ternyata wajah jelek saya serta tenaga tadi tidak sia-sia, sampai tenggorokan kering. Air, eits, inget bulan puasa.

Ujang terlihat sangat mahir di mata pelajaran ini. Lihat, dia selalu semangat mengisi jawaban. Jika Mad salah jawab, Ujang yang membenarkan dengan sedikit komentar dan menyalahkan Mad dengan logat maduranya yang saya sendiri kurang tahu. Mad hanya bersungut. Sebal. Ujang tertawa lepas. “Kakak, aku suka matematika!” aku tambah dengan pembagian cepat, Ujang sumringah. Mad bersungut, menambah lekukan di tangan. Time to break. saya sengaja memberikan waktu istirahat mereka selama lima menit. Saya rasa mereka perlu istirahat, dua materi tadi sudah lebih dari cukup untuk materi sepantaran mereka. Sudah lebih malah. Rencana setelah istirahan, saya lanjut dengan latihan soal saja, di jadikan PR bisa.

Situasi mulai berbeda. Ujang masih tetap mengusili siswa kelas dua di bangku sebelah. Tapi, kemana Mad? Astaga, dia tidah ada kelas. Saya langsung lapor kepada guru yang berjaga di ruang sebelah.

“Pak, Mad tidak ada dikelas” kataku kepada pak Zainuri sambil mencari-cari mungkin dia bermain di halaman depan. Tapi nihil.

“Sebentar, saya carikan. Dia memang selalu begitu, malas sekali disuruh sekolah”

Saya dan beliau mencari Mad disekitar sekolah. Akhirnya ketemu di halaman samping.

“Ga mau sekolah!” tiba-tiba kata itu terlontar begitusaja dari Mad.

“Ayo balik ke kelas Mad!” bentak pak Zainuri.

“Ga. Mad mau pulang” Jawabnya sambil memainkan mobil orisinilnya. Saya hanya bisa memasang wajah senyum dan ikut membujuk Mad untuk kembali ke kelas, tidak begitu paham dengan obrolan mereka dengan bahasa Madura. Kurang lebihnya terjemahannya seperti itu.

Berbagai bujuka rayu saya dan pak Zainuri, akhirnya Mad masuk kelas. Hanya bisa bernafas lega. Saya mencoba bertanya.

“Mad mau belajar apa? kalau ga suka matematika Mad bilang ke kakak. Jadi bisa belajar yang lain” tanyaku lembut. Wajah kecil itu menunduk. Sesekali melirik kemudian kembali memainkan mobil orisinilnya. Ujang kocar-kacir dikejar dua anak kelas dua.

“Sukanya belajar B. Indonesia” Jawabnya lirih. Saya mengulum senyum.

“Wah, B. Indonesia ya. Bagus itu. Ok, kita belajar cerita rakyat ya. Ini kakak bawa buku cerita rakyat. Mad sudah bisa membaca kan? Coba baca cerita Kancil dan Monyet ini” jawabku sambil memberikan buku cerita.

Tidak perlu diperintah dua kali. Mad langsung membaca cerita itu dengan nada tinggi. Entah notasi yang digunakan koma menjadi titik atau sebaliknya. Wajahnya kembali seperti semula. Ujang masih sibuk dengan dua anak kelas dua. Sekarang saling timpuk dan duel.

Terkadang saya berfikir, dalam kegiatan belajar mengajar, lebih baiknya menurut dengan siswa yang sedang kita ajar. Mereka lebih ingin belajar apa, kita turuti. Setelah awal yang menyenangkan, baru kita masuki merekadengan materi-materi yang sudah di sinergiskan. Yang belajar yang menentukan mereka mau belajar apa. Meskipun latar saya bukan pendidik, setiaknya saya mengerti bagaimana mengambil hati objek kita, dan membuat pelajaran atau materi lebih cair kedepannya. Lihat, Mad masih semangat membaca kisah kancil dan monyet hingga berbusa-busa. Ujang yang mulai latihan soal pembagian, matanya berbinar-binar, semangat.

Mereka tidak memiliki keahlian belajar, sarana cukup, serta guru yang selalu ada. Mereka hanya memiliki semangat, semangat mencari pengetahuan baru dan bersahabat. Lihat saja umar dan wahyu, siswa kelas dua, meski mereka masih belum bisa membaca, semangat belajarnya tinggi, tidak masalah jika huruf ‘A’ menjadi ‘M’ atau yang lain. Saya percaya, kelk mereka akan lebih hebat, hanya masalah waktu dan perhatian saja. Nur, siswa kelas tiga, berjilbab, sangat cerdas, semangat, dan suka menirukan salah satu aksinya girlband Indonesia, selalu datang lebih awal dari yang lain. Toha, sama cerdasnya. Dia yang sering memberitahu teman-teman yang lain jika ada yang belum dimengerti di mata pelajaran dasar. Ahmad, dia sangat jago membuat layang-layang, tak akan patah bertarung. Ada satu yang tertinggal, Aini. Ah.. terlalu sederhana jika diceritakan disini.

Dua jam waktu yang sangat singkat. Kelas dimulai pukul tujuh dan berakhir pukul sepuluh pagi. Meski singkat, senyum mereka tetap abadi. Semangat belajar masih memancar. Tak peduli apa yang dikenakan, selama buku dan pensil masih ada. Mereka akan terus menulis. Menulis jejak-jejak semangat dan harapan. Semoga kelak yang dicita-citakan dapat terwujud.

Hanya gurauan atau apa. berbicara tentang cita-cita. Dari salah seorang siswa saya tanya.

“Umar kalau gede ingin jadi apa?”

“Jadi… Anak Gaul kak!” jawabnya singkat dan mencengangkan “Jadi bisa main ke Roro mart tiap hari”. Salah satu tempat belanja paling lengkat seantero bukit batu itu. Dibanding super atau minimarket lainnya, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar.

Desa berdebu. Diatas bukit batu. Beribu impian jadi satu. Semoga kelak mereka menjadi pijakan utama kesuksesan disana. Semangat.

(bisa di edit lg, please gives comments)

 

TARGET SI KECIL

      Suasana SD Al-Islam Senin pagi ini ramai. Apel pagi sudah selesai dilaksanakan. Tidak seperti biasanya Terlihat di halaman sekolah ada sebagian siswa yang tidak berseragam. Bebas bermain bola. Tendangan bola dengan strategi kecil, fokus pada gawang lawan, bagaimana dia bisa melakukan eksekusi penalti ke gawang lawan seperti Robin Van Persie. Itu yang luar biasa.

Sebagian dari kelas lainnya memang sedang mendapatkan pelajaran olah raga, mereka turut bermain di halaman sekolah. Halamannya tidak begitu luas. Gedung yang dikelilingi pagar-pagar tinggi. Sangat mencerminkan sekolah di tengah mentropolitan. Mana mungkin sekolah desa tega mengoperasionalkan dana sekolah hanya untuk membangun pagar beton tinggi yang bagi mereka tak berarti apa-apa. Mereka lebih bijak dengan memanfaatkan untuk melengkapi kebutuhan buku ajar dan menambah pesangon guru-guru honorernya. Sangat kontras bukan.

Bel masuk berbunyi. Siswa-siswi kelas satu yang belum benar-benar bisa diatur berlarian kesana-kemari  di koridor sekolah. Ustadzah (panggilan untuk guru perempuan) berteriak memanggil mereka untuk segera masuk kelas karena pelajaran akan segera dimulai. Alhasil, mereka yang ogah dan tetap ribut harus dijemput dan digendong ustadzah ke kelas. Benar-benar harus ekstra sabar.

Sekolah dasar Islam ini patut diberi acungan jempol. Bagaimana tidak, di sana arti kebersihan dan kesucian sangat diunggulkan. Kebersihan dan kesucian menjadi tanggung jawab bersama. Sangat menjalankan indentitas islam yakni kebersihan sebagian dari Iman. Lihat saja, di depan pintu masuk sekolah sudah disiapkan rak-rak sepatu kecil berjejer rapih bercat warna-warni. Tulisan ‘Lantai Suci’ sudah menjadi pemandangan pertama pengunjung ketika akan masuk kedalam koridor sekolah. Mau tidak mau yang ingin masuk harus melepas alas kaki. Sangat bersih dan teratur. Islam memang indah jika orang-orang di dalamnya mau menyadari dan menerapkannya nilai-nilai islam dikehidupanya.

Ruang kelasnya tidak begitu besar. Memiliki beberapa meja dan kursi kecil. Catnya berwarna-warni yang dipadukan dengan beberapa gambar-gambar lucu. Masing-masing kelas memiliki warna yang berbeda. Dinding dalam dan luar ruangan tidak pernah sepi, selalu dipenuhi dengan hasil karya seni siswa, baik lukisan, kerajinan tangan dan hasil karya lainnya. Semuanya sengaja didesain seperti itu agar siswa disana semakin semangat belajar.

Mencoba membandingkan. Jika kamu tahu, sewaktu saya SD, di desa dekat rumah. Kedisiplinan masih sangat kurang. Gurunya saja kadang masuk kadang tidak. Masih ditemui beberapa teman yang berkelahi dan bermain bola di dalam kelas, mengibaratkan seperti area pertandingan dan mereka menjadi pemain yang siap-siap mencetak gol. Teman-teman lainnya terpaksa mengalah untuk ditendangi dengan bola dari pada dipukuli keroyokan. Ada yang nagis merengek minta pulang ada juga yang jengis, menunjukkan bahwa dia adalah siswa yang harus ditakuti di kelas. Kelas sangat kotor, berdebu dan berantakan. Banyak sampah yang berserakan. Bangku dan kursi bercorak motif yang kurang jelas, berbunyi decit mengganggu konsetrasi belajar, coklat pudar, dengan coretan-coteran yang ndak enak dipandang. Udara panas, plafon jebol, banyak tikus dan kecoa, pun dengan buku-bukunya, lusuh dan kumal sudah banyak yang usang. Pagar tinggi di sekolahku bisa dilihat di pintu masuknya saja, terbuat dari bambu dan tidak terlalu tinggi, selebihnya hanya semak belukar.

Repot sudah, ketika musim hujan tiba. Sekolah sering kebanjiran karena mendapatkan kiriman air dari sungai dan sawah dekat sekolah. Jika sudah banjir, murid-murid dan guru sekolah terpaksa kerjabakti, jika sudah parah, kelas pasti diliburkan. Senyum nakal tersungging dari wajah mereka, pertanda akan pulang lebih awal. bergegas berenang di telaga desa yang airnya meluap-luap. Mencari ikat keting, kepiting, dan ikan kecil lainnya. Bebas tidak banyak aturan.

SD Islam ini begitu istimewa. Anak-anak yang cerdas dan semakin di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Segala peraturan dan tata tertib sangat mudah diterapkan di anak didik disini, dari kelas 1 hingga 6. Yah, meskipun kebandelan mereka kadang kumat dan butuh tenaga ekstra dari ustadz ustadzah untuk menyelesaikannya. Kontradiksi dengan sistem pendidikan di desa.  

Kembali ke tujuan awal. Sebenarnya, pagi-pagi benar kami datang berkunjung ke SD Al-Islam dekat asrama untuk memberikan penyuluhan tentang makanan sehat dan sekalian mengadaka cooking competition nugget bagi teman-teman kelas 5. Jadinya, untuk hari ini teman-teman kelas 5 bebas dari pelajaran sekolah. Senyum muncul dari wajah-wajah kecil itu. Batinnya mungkin bersorak ramai karena hari ini mereka mendapatkan pelajaran praktik, tidak lagi berkutat dengan buku-buku penuh teori. Bagi teman-teman di kota, memasak mungkin hal yang berbeda. Sudah dapat ditebak, mereka-mereka yang memiliki jadwal padat untuk bemain, les dan belajar mungkin jarang membantu orang tua mereka di dapur, terlebih anak laki-laki yang sebagian besar harinya hanya untuk bermain. Bahkan, mungkin orang tua mereka juga tidak sempat berkunjung ke dapur sekedar menyiapkan sarapan atau makan malam keluarga karena agenda yang padat, akhirnya tenaga pembantulah yang dikerahkan. Kehidupan kota memang penuh dengan kompetisi.

Berbicara tentang kompetisi. Cooking competition yang akan di ikuti teman-teman hari ini adalah memasak nugget sayur. Mungkin lebih baik saja saya memanggil adek-adek kelas 5 Sd Islam ini dengan sebutan teman-teman, biar lebih akrab. Meskipun banyak dari mereka yang sok kenal dan sok dekat memangil “ustadzah-ustazdah, nanti kita masak ya?” atau “ustadzah namanya siapa?” (padahal belum cocok di panggil ustadzah) serta banyak sekali pertanyaan pembuka dari mereka sebelum kami naik panggung untuk menjelaskan sekilas tentang makanan sehat dan keuntungannya. Ketika waktu untuk tanya jawab dimulai, mereka sangat aktif. Banyak dari mereka yang angkat tangan untuk mengajukan pertanyaan, atau sekedar ikut meramaikan dan mencari perhatian, atau malah hanya tertarik dengan hadiahnya? Ya, untuk yang berani bertanya, dari kami sudah siapkan bingkisan khusus. Suasana ricuh.

Kami, yang pagi itu tiba-tiba meramaikan masjid SD dengan program sosialisasi adalh mahasiswa dari universitas sekitar. Saya dan teman-teman tim tidak sengaja di undang oleh ustadzah Nida, salah satu wali kelas dari kelas 5 umar bin khatab. Sebenarnya ini bukan program yang mewakili kegiatan kampus. Melainkan program dari bisnis kecil-kecilan kami. Bisnis nugget sehat dengan sayur. Entah dari mana Ustadah Nida tahu akan bisnis kita ini. Mungkin dari siaran radio setempat sekitar 2 minggu yang lalu atau dari siapa itu tidak penting. Yang terpenting adalah tujuan saya dan teman-teman untuk menyehatkan anak-anak dari makanan yang mereka konsumsi tersalurkan. Sekalian promosi juga nugget kita yang kita buat tetap pada standart aman, sehat, dan bergizi untuk di konsumsi anak-anak atau orang dewasa (waduh, kok malah promosi. Hehe).

Setelah acara sosialisasi selesai. Siswa digiring menuju kelas untuk memeprsiapkan kompetisi memasak. Masakan yang akan dilombakan adalah membuat nugget sehat dengan campuran sayur (tentu dari rujukan produk kami. Hehe). Tiga kelas itu mulai rame. Kursi-kursi diangkat dan dipinggirkan. Peralatan perang, (eh maksud saya peralatan memasak) di keluarkan. Kami hanya menyediakan bakan-bahan, jadi peralatan memasaknya sudah disiapkan masing-masing kelompok. Ada 15 kelompok yang ikut kompetisi. Masing-masing kelompok berjumlah 6 orang, jadi totalnya 90 anak. jumalh yang tidak sedikit dengan pendamping hanya 6 orang, 3 dari guru 3 orang dari tim bisnis.

Acara bagi-bagi bahan berjalan dengan lancar. Semuanya telah mendapat bagian sama. Lihat, wajah teman-teman sangat antusias. Hal ini terlihat jelas, dari alat-alat yang mereka bawa sangat lengkap, kompor, nampan, tempat penyajian, toping, dan lain sebagainya telah dipersiapkan. Bahkan ada yang sampai tidak terpakai karena ya memang tidak dipakai. Sebelum mulai membuat adonan, saya dan tim memberikan pengarahan untuk teman-teman. Bahan-bahan apa saya yang harus dicampur terlebih dahulu dan mana bahan yang digunakan untuk sentuhan terakhir. Lengkap, perlahan dan jelas. Dengan alarm yang bersamaan, mereka mulai memasak.

“ustadzah, ini nanti diapakan ayam sama tepungnya?” teriak salah satu anak di kelas utsman

“ustadzah, sayurnya kita kok sedikit, nda ada jagung juga kayak kelompok lain, kan Hana suka jagung” hana menghampiri saya sambil menarik-narik baju dan merengek manja.

“iya sayang, minta ke ustdzah Anis ya untuk ditambahin sayurnya” ku jawab sabar.

“ustadzah, Lukman ndak mau minjemin pisaunya, masak dipakai sendiri, rRirin juga ingin ikut masak” eh, yang satu ini ikut-ikutan merengek juga.

“iya sayang, kan bisa gantian” Jawabku sekali lagi sabar.

Di kelompok lain ada yang melontarkan pertanyaan yang sama. Yang lainnya juga bertanya sama persis. Memang harus ekstra sabar. Bagaimana dengan tim yang lain ya…

“ustadzah, jangan kemana-kemana, temenin kita”

“Ustadzah, sini…”

“Ustadzah ini motong sayurnya bagaimana???”

“Ustadzah, Kahfi usil!”

“duh, ustadzah ini kemana to…”

“ustadzah…!!!!”

Alloh, mereka memang lucu, aktif, menggemaskan dan rasa ingin tahunya sangat tinggi.

Tidak habis pikir bagaimana lelahnya guru-guru pengajar mereka yang hampir seharian penuh menghadapi mereka dengan segala kenakalan, manja, dan rasa ingin tahunya yang tinggi. Belum dikali 6 hari dalam seminggu. Satu bulan. Setahun. Yah, maklumlah, namanya juga anak. Sebagai seorang pengajar, mengajar dan membimbing anak didik sudah menjadi naluri dan tanggung jawabnya. Dulu mungkin saya juga seperti mereka. Bandel, begajul, dan susah di atur. Bedanya saya di desa dan mereka di kota. Ah, di desa memang lebih indah.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. bel berbunyi pertanda siswa-siswi harus segera bergegas menuju masjid sekolah untuk melaksanankan shalat dzuhur berjama’ah. Lomba sudah sampai di tahap pengukusan. Jadi bisa ditinggal. Lihat saya dan tim, kucel gara-gara menghadapi anak-anak brilian yang serba ingin tahu, satu-satu harus dijelaskan dengan detai dan berulang. Kami pun ikut beristirahat sejenak dan mengikuti mereka ke masjid sekolah.

Lihat, baru kali ini saya melihat Sekolah dasar dengan 2 mushalah yang lumayan besar. Dulu saja di SD saya tidak ada masjid, boro-boro masjid, tempat shalat saja tidak ada, terpaksa kalau shalat harus pulang kerumah dulu. Jarak sekolah dan rumah hanya 500 m. Setelah shalat dzuhur dan makan siang, bergegas kembali ke sekolah, melewati pematang dan sungai kecil. Yah, namanya juga di desa.

Saya terpesona dengan mereka siang ini. Sebelum jama’ah dimulai mereka muroja’ah (mengulang hafalan), tartil dan serempak, antara panjang pendek dan makhraj pun sesuai dengan bacaan. Yang dihafal bukan sekedar surat-surat pendek, melainkan juz 29 dan 28 yang didalamnya terdiri dari beberapa surat panjang. Subhanallah, sungguh anak-anak yang cerdas. Saya malu dengan mereka, betapa tidak, melihat hafalan saya yang masih gratul-gratul (ah, tapi sama hebatnya juga kok dengan mereka. Membanggakan diri, mau dapat 2 juz, minta do’anya ya. Hee)

            Setelah shalat dzuhur, saya dan tim kembali ke kelas terlebih dahulu. Siswa-sisiwi masih asik dengan rutinitasnya dimushalah. Setiba di kelas kami dan para ustdzah melihat keadakan masakan nugget teman-teman. Terpaksa ikut turun tangan meniriskan kukusan nugget dan menaruhnya di kelompok masing-masing bagi nugget mereka yang sudah masak. Kelas masih sepi. Teman-teman tim masih sibuk membereskan peralatan memasak. Saya berkeliling sejenak sambil melihat karya dan hasil kreasi teman-teman SD Islam. Sejenak kemudian, saya tertarik dengan tempelan kertas-kertas di dinding depan ruang kelas mereka. Ku baca judulnya, ‘TARGETKU DI KELAS 5’, tulisan milik salah seorang siswi kelas 5 Abu Bakar. Aku berdecak kagum. Anak-anak sekolah dasar di sini memang sudah didik untuk disiplin, mandiri, dan bermimpi.

Mereka benar-benar sudah berani bermimpi apa yang akan mereka inginkan ketika dewasa. Mimpi mereka tidak hanya angan-angan, akan tetapi mereka sudah berani menuliskannya. Ya, di selembar kertas yang kubaca tadi, berjudul “TARGETKU DI KELAS 5’. Meskipun tidak muluk-muluk untuk memimpikan akan menjadi apa mereka kelak. Setidaknya, ambisi untuk berubah menjadi lebih baik dan mendapatkan kejadian yang spesial di tahun ini mereka sudah menargetkannya.

            Target mereka sederhana, unik, dan lucu. Kalau tidak salah baca, ada yang bertuliskan seperti ini,

Farhan : TARGETKU DI KELAS LIMA

–          LULUS SERTIFIKASI HAFAL JUz 28

–          BERTANGGUNG JAWAB (HABIS NUMPAHIN MINUMAN, SEGERA DI-PEL)

–          HARUS MANDIRI

–          NILAI UJIAN MINIMAL 95

–          PUNYA PESAWAT DAN MOBIL SPORT

–          MEMBUAT MOBIL SPORT

AMIN..

Hafifah : Impianku… aku ingin menjadi juara 1 dan aku ingin menjadi peraih nilau UASBN dengan nilai yang sangat memuaskan serta bisa berbakti kepada kedua orang tua. Dan semoga Alloh mempertemukan aku, umi, dan abi di surga, Amiinn…

Dan semoga aku bisa haji dan menghajikan umi dan abi. Serta diberi rizki yang banyak entah dalam bentuk kesehatan maupun harta. Yang terakhir, aku ingin semua harapanku di dengan Alloah. Amin..

Shabira : aku ingin khatam Al-Qur’an dan aku ingin nilai ipaku mendapatkan nilai 100.hobiku menggambar dan satu lagi aku ingin membahagiakan orang tua. Amiinn..

Nisa :

Targetku Tahun ini

–          Lulus sertifikasi hafalan Jus 29

–          Nilai pelajaran di atas 75

–          Ingin menjadi orang kaya

–          Setiap selasa rabu jualan jajan di kelas

–          Ingin punya bisnis

–          Ingin membeli mobil

Sungguh luarbiasa anak-anak ini. Baru kelas 5 SD mereka sudah memiliki mimpi dan berani menuliskannya. Mimpinya sederhana, unik, dan lucu. Tidak seperti saya dulu  ketika SD. Banyak dari teman-teman saya jika di tanya guru di sekolah “kalian kalau besar mau jadi apa?”. Maka jawabannya akan terdengar serempak “Dokter bu..”. Jawaban klasik yam membutuhkan perjuangan untuk mendapatkannya. Saya sendiri tidak ikut-ikutan di forum tanya jawab ketika itu. saya memilih diam, karena saya memiliki mimpi yang lebih dari itu (hanya menyangkal).

Matahari mulai condong. Teman-teman kelas 5 sudah kembali ke kelas masing-masing dan menyiapkan hasil masakan mereka yang sudah masak untuk mendapatkan perlakuan selanjutnya, yakni pencetakan. Saya dan tim menjelaskan tentang proses pembuatan nugget selanjutnya. Sekali lagi mereka sibuk sendiri, berebut adonan nugget yang sudah dikukus untuk di cetak.

Ada-ada saja tingkah mereka yang membuat saya tidak bisa behenti tersenyum. Dikelas Abu bakar, Hana tidak berhenti bertanya tentang nugget yang sebenarnya sedari tadi sudah saya jelaskan. Di lain sisi, dia juga menghabiskan remah-remah nugget dari yang di cetak. Duh manis, kalau seperti ini nuggetnya bakal habis duluan sebelum di goreng. Kejadian serupa juga berulang di kelompok lain, mungkin kelas sebelah juga seperti itu.

“ustdzah, ini sudah bisa dimakan ya. Sudah enak kok ustadzah?”. Lutfi anak kelas Umar bin Khatab bertanya.

“iya sayang, tapi ini masih belum jadi. Harus di cetak dan dilumuri dengan tepung roti. Nanti kalau sudah digoreng, Lutfi baru bisa makan nuggetnya”. Jelas saya.

“ustdzah, nuggetnya enak”. Azam ikut ikut memakan nugget yang setengah jadi.

Benar-benar anak kecil. Tidak sabar, selalu ingin tahu, dan lucu-lucu.

            Alhamdulillah, setelah sabar mendampingin teman-teman dari proses awal hingga akhir, kini saatnya penilaian. Kreasi teman-teman sangat luar biasa. Lihat saja sajian nugget yang sidah dimeja, topingnya kreatif. Ada yang dibuat seperti menara dengan buah tomat di atasnya. Ada yang di hias dengan keju, keripik, mayonaise, dan saus. Ada yang di buat dengan isi sayur, berbentu salat nugget, dan masih banyak yang lainnya. Nama-nama nugget hasil kreasi mereka juga menarik. Ada yang dinamai nugget 134, nugget vegetarian, nugget the best, dan nama-nama imajinatif lainnya. Saya dan tim kebingungan untuk menilainya. Semuanya bagus. Kalian semua hebat adik-adik!!!

            Tingkah mereka memang lucu. Sempat saya kesulitan dengan salah satu siswi, namanya Nabila. Dia tidak mau masuk kelas untuk penilaian nugget. Dia malu, soalnya banyak anak laki-laki yang berdiri di depan pintu masuk.

“ustdzah, Nabila ndak mau masuk kelas. Banyak anak lakinya di sana. malu” gerutu Nabila yang sedari tadi mondar mandir di depan pintu masuk kelas sambil membawa hasil masakan nuggetnya.

“lho, nda apa-apa Nabila. Mereka nda ganggu kok. Kalau Nabila nda masuk, nuggetnya tidak bisa di nilai dong. Ustadzah temenin ya…” bujuk saya.

Akhirnya Nabila masuk sambil menunduk dan memegang erat baju saya. Hmm, anak kecil yang manis. Dia sudah tahu baiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan itu seperti apa, tapi mungkin perlu belajar lagi. semangat Nabila sayang.

            Hari yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Terima kasih teman-teman kelas 5 SD al Islam. Ternyata, di balik kenakalan dan keaktifan kalian terdapat sebuah potensi yang sangat luarbiasa. Semoga apa saja yang telah kalian targetkan, meskipun sedikit, yakinlah suatu saat hal itu akan terwujud. Allah SWT Maha Mendengar, dan pasti mendengarkan do’a teman-teman, yang dibutuhkan sekarang bagaimana teman-teman mewujudkan dan mnegusahakannya. Semangat teman kecilku, yang lucu, cerdas, aktif dan menggemaskan.

            Pelajaran sederhana yang memahamkan kembali tentang arti penting sebuah mimpi. Berterimakasihlah karena kalian bisa bermimpi. Berani bermimpi mengisyaratkan kalian berani untuk mengambil aksi. Aksi adalah sebuah proses, yang nantinya dalam sebuah proses tersebut kalian akan di hadapkan kepada maslah-maslah yang harus terpecahkan. Ketika seperti itu, tetaplah yakin mimpi kalian akan terwujud. Proses diibaratkan seperti petani yang bercocok tanam. Panennya di surga J. Dengan iktiyar yang sungguh-sungguh dan tawaqal, bahwa segala sesuatu di muka bumi ini tak lepas dari pengawasan Sang Khaliq. Man Jadda wajada, Man shabaran basiran. -Kazuha Nuur-

BIDADARI ITU PANTAS CEMBURU

Jam menunjuk pukul 11 malam. Mata ini susah terpejam. peristiwa dua minggu lalu yang belum bisa kulupakan. Sudah berhasil menyita fikiran dan konsentrasi. Sedari tadi pikiranku menggebu untuk segera menulisnya. Tapi masih belum sempat, gara-gara segudang aktivitas dan sedikit kemalasan yang sudah biasa mangkir.

Seseorang sangat suka sekali menganalogikan sesuatu hal dengan dirinya. Seperti yang kurasakan di sebuah pagi. Tepat dengan perayaan hari ibu. Barang dagangan yang harus diantar ke koperasi fakultas-fakultas belum disiapkan. Tugas asrama juga harus di setorkan di meja kerja Ukhti Ais pagi ini juga. Sudah semestinya jauh-jauh hari ku kerjakan. Dan sekali lagi, karena masih begitu malas dan disibukkan dengan persiapan ujian akhir.
Kembali kepada analogi. Semacam pencerminan kejadian atau apalah, aku juga kurang tahu dan ingin mencari tahu. Tepat sebelum dhuha, sms dari ukti Nisa mantan Kadept. kemuslimahan UKKI kampus masuk, tanpa di undang dan di harapkan. Beliau mengirim sms singkatnya.

Assalamu’alaikum, dek lia. Ni mb nisa mantan ket.kmuslimahan UKKI. Lgs to the point ja y dek, ant mw mgantikan ane g stahun kdpan? Untuk jd kadept kmuslimahan janur 2012. insyaAllah ane memilih ant krn anti mampu dn berkompeten untuk berdakwah d kmuslimahan k dpanx. Gmn? Mb tunggu sgra y jwbnx hr ni. Jazk

Seperti dapat durian runtuh. Sayang aku tidak suka buah itu. Apalagi keruntuhan durian, bisa jadi apa ini kepala?! Mencoba membacanya sekali lagi. Memercingkan mata, mungkin mimpi. Tapi mustahil, pagi ini aku sudah bangun. Tapi, kenapa harus aku dan secepat ini.
Hati dirundung bimbang. Tidak bergairah lagi. Acak – acakan, entahlah. Aku mencoba menenangkan diri, sembari menarik nafas panjang dan mencoba mengalihkan perhatian dari sms tersebut. Kembali kepada rencana sebelumnya, shalat dhuha. Shalat dhuha pagi itu aku kerjakan dengan lebih khusyu, berharap mendapatkan kekuatan dan petunjuk sebelum benar-benar menjalani hari dan memeberikan jawaban atas permintaan ukhty Nisa. Allohu Akbar…

“Maka, nikmat tuhan manakah yang kau dustakan”

Ayat Allah yang satu ini benar-benar istimewa. Bagaimana tidak, ayat yang di ulang 31 kali ini telah mempertegas bahwa Allah benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang bagi hambaNya yang terus beribadah kepadaNya serta memperjuangkan agamaNya. Maka nikmat Allah SWT yang manakah yang harus di dustakan. Setiap tarikan nafas, degup jantung, dan aliran darah adalah milikNya. Pun dengan segala yang kita miliki sekarang, suatu saat kita harus siap jika Allah SWT mengambil semua yang ada pada diri kita. Bukan suatu saat, mungkin menit setelah ini, satu jam yang akan datang, atau esok. Wallahu’alam.
Setelah membaca doa dhuha. Sembari membenahi posisi duduk tahiyah akhir. Pesan singkat dari ukhty Nisa aku baca lagi. tak bosan-bosannya bertanya dalam hati, “apakah benar seperti yang mbak jelaskan?” bercermin diri dari segala kepercayaan yang dia tuliskan di sms itu. Apakah aku memang seperti itu? Tidak, egoku menjawab. Sosok muslimah yang memegang amanah ini adalah muslimah yang luar biasa, teguh agamanya, akhlaknya baik, cantik, anggun, disiplin, muwashofat kader sudah biasa menghiasi harinya, begitu sempurna dan menjadi contoh bagi muslimah di kampus. Setelah aku koreksi kembali, ternyata semua itu belum sepenuhnya ada padaku.

Jam sudah menunjukkan pukul 08.33 WIB. Waktunya mengemas barang dan mengambil dagangan. Sms itu segera ku balas.

Wa’alaikumsalam wr wb. Syukron mbak pun memberrikan kepercayaan kpd ane. Tapi ane perlu mendiskusikannya terlebh dahulu dg murobi ane, i. Alloh hari ini ane beri kepastian. Selamat hari ibu mbak.
Tas yang kusiapkan kuraih sekenanya, sepeda matic melaju dengan cepat menyibak matahari pagi yang sedari tadi tersenyum. Tanpa melihat diri ini sedang manyun. Allah, lancarkan hari ini dan tuntunlah hambaMu dalam memilih hal yang terbaik. Do’a dan shalawat tak henti ku lantunkan. Jalanan ramai lancar. Pengendara hari ini sepertinya sudah mengerti arti rambu lalu lintas. Rapi dan disiplin. Melewati jalanan samanea yang teduh dan sejuk. Di perempatan, aku melihat mbak penjual koran favoritku. Selalu bersemangat dan menebar senyum. Seakan berkata, “silahkan membaca koran hari ini pak, dijamin ide anda semakin brilian”. Aku membelinya satu. Setelah hijau menyala, tak lama maticku melaju kembali.

Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan padat. Pelantikan pengurus JANUR UKMK. Dari sekian pengurus harian yang akan dilantik, aku termasuk di dalamnya. Bagi teman-teman yang sudah pernah menjabat di tahun sebelumnya mungkin sudah terbiasa, tapi tidak untukku, rasa takut tidak amanah dan tidak menjadi contoh yang baik sudah ku rasakan minggu-minggu sebelumnya. Amanah itu dimandatkan kepadaku. Menjadi kepala departemen kemuslimahan kampus. Ah, apa sebenarnya kelebihanku?
Aku sudah terjaga sejak sepertiga malam terakhir sebelumnya. Adzan subuh berkumandang. Menghempas mimpi-mimpi makhlukNya dan memperdengarkan keagunagan AsmaNya yang didendangkan melalui adzan. Meski sayup, tetap bermakna. Bagi makhluknya yang masih berselimut, suaranya bagaikan penari padang pasir, membuai dan semakin mengatuk. Alarm asrama berbunyi. semuanya terbangun. Dengan mata masih tiga watt mereka segera bergegas mengambil air wudhu dan menjalankan shalat subuh berjama’ah. Imam dipilih dari jadwal yang sudah ditentukan. Setiap hari berbeda-beda. Hal ini bertujuan agar para santri memiliki tanggung jawab dan dapat memimpin, terkhusus untuk dirinya sendiri. Setelah jama’ah, agenda berlanjut membaca al-Ma’tsurat bersama dan taujih dari salah satu santri.
Asrama kami adalah asrama putri mahasiswa, bukan pondok pesantren atau asrama biasa. Dipanggil santri biar lebih kena, penghuninya muslimah semua, pakai rok (ada sih yang pakai celana, InsyaAllah nanti rokkan juga), ibadahnya rajin, aktivis, dan didukung juga dengan agenda asrama yang seimbang. Selain keunggulan dalam dunia, santri juga dituntut untuk meningkatkan amal ibadahnya dengan amal yaumi untuk bekal akhirat. Seimbang dunia akhirat. Namanya Asrama Mutiara, muslimah tiada tara. Semoga tercermin juga pada penghuninya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 wib dan kami baru selesai dengan agenda asrama pagi. Aku segera bergegas bersiap-sipa mengikuti acara pelantikan Tiba-tiba Nisa angkat bicara.
“ayo riyadhoh mbak, main basket, kemarin ane sudah pinjam bola basket lho. Ayo!!!”
“wah, aku mau ikut dong Nis” jawab dewi spontan.
“aku juga mau, lama ga riyadhoh, badan pegel-pegel semua.” Jawab Ayu mengikuti
Tak ketinggalan Hanum, Tanti, dan mbak Ais, kecuali Ikha ikut riyadhoh juga.
“Ga bisa sekarang tapi Nis, mbak ada pelantikan pengurus UKKI, sebelum itu ada syuro juga. Sama yang lain aja ya.” Jawabku singkat, padahal dalam hati nggrundel. Sudah lama ingin main basket lagi. biasalah, matan pemain basket dari Mts sampai SMA. Terpaksa mengalah demi persiapan pelantikan dengan wajah melas.
Akhirnya, setelah sibuk ganti kostum, ROKER (rombongan kerudung) santri Mutiara berduyun-duyun menuju lapangan basket di Institut dekat asrama. Aku ikut bergegas juga merapikan kamar dan persiapan pelantikan UKKI. Menarik nafas panjang. Ini bukan mimpi.
Diluar masih sepi, hujan semalam menyisakan genangan-genangan air yang bening. Ikha menyapu teras depan yang sedikit kebanjiran. Sepeda motor aku panaskan sebentar sambil melihat kelengkapan sebelum berangkat. Atasan putih, bawah hitam, almamater, buku catatan, Al-Qur’an, air minum sudah siap, dan jiwa yang lapang telah kupersiapkan, tapi belum sempurna. Laahaula walaquwwata Illabillah…
“Ikha kok ga ikut riyadhoh?” tanyaku
“lha ini sudah riyadhoh mbak. Hehe. Ga mbak, bentar lagi syuro LDJ. Mbak mau berangkat ya? Ganbatte!.” Jawab gadis yang sudah hafal 5 Jus Al-Qur’an. Sambil ketawa-ketiwi ia terus menyemangatiku.
“Hmm, iya, doain mbak ya. Yang bersih ngepelnya. Mbak berangkat dulu Ikh, Assalamu’alaikum”
“Okay mbak. Hati-hati ya mbak, wa’alaikumsalam warahmatullah.”

Sebuah sore di kampus hijau. Disana ada danau yang didalamnya banyak bermacam ikan. Angsa berenang beriringan memebentuk barisan bak pasukan siap berperang. Bunga mekar karena dukungan sang musim. Udara segar, tidak begitu panas dan segar menyejukkan. Awan sengaja berkumpul membentuk kelompok-kelompok kecil dan banyak. Ya, Seperti halnya beberapa kelompok kecil muslimah di tepi danau sore itu. Lingkaran kecil, dengan pendamping yang mereka sebut murabi. Saling berdiskusi dan mengkaji ilmu islam lebih dalam. Pakaiannya meneduhkan pandangan. Perkataannya mencerahkan fikir dan dzikir. Akhlaknya mempesonakan hati. Muslimah yang mencerminkan bidadari dunia yang membuat cemburu bidadari surga. Salah satu mentornya berkata.
“muslimah sejati lebih utama daripada bidadari surga. Keutamaannya digambarkan dalam Al Hadist. Aku bertanya, ”Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukan bidadari bermata jeli?” Rasullah SWA bersabda, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat.” Sahabat bertanya, “mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadri? Rasulullah SAW menjawab, “karena shalat mereka, puasa mereka, dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasaannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, “kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridho dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang-orang yang memiliki kami dan kami memilikinya” (HR Ath Thabrani dari Ummu salamah)”
“Begitulah seorang muslimah sejati. Keutamaannya dilihat dari seberapa besarkah ibadah mereka kepada sang Rabbnya. Cobaan dan ujian yang tidak sedikit harus mereka hadapi demi menunjukkan kesejatian muslimah yang sesungguhnya. Berbeda dengan bidadari surga yang mereka cenderung bertuturkata halus, tidak diberikan hawa nafsu, selalu taat dan menjalankan perintah Allah SWT. Tidak ada ujian yang berarti. Maka bebanggalah kalian wahai muslimah, terus berusaha untuk menjadi sejati dan yang nanti bidadari surga itu akan terpesona padamu.”
Akhwat-akhwat yang lainnya mendengarkan dengan terkagum-kagum.
“Subhanallah, sungguh kita adalah hamba yang sangat istimewa ya ukh.”
“Betul, sebuah hadiah yang luarbiasa yang telah Allah berikan kepada kita. Lihat saja, dalam wahyuNya, Al-Qur’anul Karim, kita diberkan keistimewaan disana dengan salah satu suratnya, An-Nisa’. Paling penting lagi, bagaimana kita mengaplikasikan hadiah tersebut dengan sebaik-baiknya sebagai rasa syukur kita”. Akhwat berjilbab biru melanjutkan komentar
“Benar sekali. Yang harus dilakukan adalah bagaimana kita merealisasikan nikmat tersebut. Seperti memperbaiki dan menjaga akhlak, menutup aurat, tolabul ‘ilmi, berprestasi, bersosialisasi dengan teman, keluarga dan masyarakat dengan syar’i, tidak melakukan maksiat dan terus berlomba-lomba dalam kebaikan. Menjadi seorang muslimah adalah hadiah yang indah.” Teman lingkaran sampingnya menambahi.
Diskusi menjadi hangat dan akrab. Mereka seolah-olah ingin berlama-lama mempelajari islam dan mensyukuri dengan menambah dan berbagi ilmu satu sama lain. Ukhuwah benar-benar ada disana. Sungguh indah sekai, kampus hijau dengan jiwa-jiwa rabbani seperti mereka. Semoga bukan hanya mimpi.
Setelah berdikusi banyak hal, forum lingkaran tersebut ditutup dengan istighfar, Memohon ampunan dari kealapaan dan nafsu. Do’a penutup majlis, berharap benih-benih kebaikan menebar manfaat di jalan perjuangan.


Di sisi lain
Sebuah seminar penghargaan mahasiswa prestasi di sebuah kampus ternama di Jepang, Nodai university. Ruangan penuh sesak. Ratusan mahasiswa dari berbagai negara dan undangan turut ikut dan menunggu momen spesial ini. Mereka ingin menjadi saksi sejarah mahasiswa-mahasiswa prestatif peraih juara ilmiah untuk menerima piagam penghargaan di bidangnya masing-masing dari kepala pusat ilmiah disana. Satu persatu di panggil oleh MC. Beberapa nama peraih penghargaan dipanggil. Satu persatu dari mereka diberi kesempatan untuk memberikan pesan dan kesan serta semangat untuk mahasiswa lainnya, dengan bahasa Inggris tentunya. Namanya mulai dipanggil, para undangan terkesima dengan salah satu peserta peraih penghargaan yang akan tampil.
“Selanjutnya adalah Nida’ul Husna dari Indonesia. Mari samut dengan meriah”.
Akhwat dengan jilbab hijau lebar sedikit canggung menaiki podium. Menata tempat pengeras suara dan mulainya dengan bismillah. Sorot matanya tajam mengawasi tempat duduk undangan. Ghadhul bashar tidak dilupakan. Seisi gedung yang mulanya sedikit ramai tiba-tiba hening. Akhwat tersebut mulai berbicara.
Undangan tertegun dan berdecak kagum. Akhwat tersebut menyampaikan pesan dan kesan dengan bahasa inggris yang begitu lancar, mudah dimengerti dan memotivasi. Terkadang undangan juga dibuat tertawa dengan testimoni-testimoni kecilnya. Humoris tapi tetap menjaga sikap dan akhlak islam. Kata-kata yang dia ucapkan sarat dengan nasehat, dia bingkai dengan sederhana dan mudah agar dapat dipahami oleh undangan.
Paling mengesankan, ia menjelaskan tentang islam, bagaimana islam mengatur kehidupan, sungguh indah, tidak seperti yang mereka dan negara-negara barat yang mendefinisikan islam dengan salah kaprah. Akhwat itu ingin menunjukkan islam yang sebenarnya, bukan teroris seperti yang mereka duga, bukan umat yang suka peperangan, islam adalah agama yang benar, yang menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran, cita dan damai, menyayangi anak-anak yatim, kaum dhuafa, membantu dan menolong yang lemah dan segala aspek kehidupan akan baik jika diajalankan sesuai dengan syariah islam. Segala urusan yang tercermin dalam utusanNya Rasulullah Muhammad SAW sebagai “uswah hasanah”. Agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia, dan mengedepankan konteks kemanfaatan umat, dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.

“Coba Anda cari 1.000 perkataan Napoleon. Maka Anda akan menemukan kesulitan yang luar biasa. Tapi coba Anda carai 10.000 perkataan Rasulullah, maka dengan mudah Anda akan menemukannya dalam hadist-hadist Rasulullah SAW. Manajemen yang beliau ajarkan sungguh luar biasa. Nilai-nilai yang dihimpun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Yang kemudian dikenal dengan nama Al-Qur’an. Yang menjadi landasan pemenang dalam masah keduniaan. Sehingga islam membawa umatnya menjadi manusia jempolan. Menjadi winner dan champion sejati. Menjadi sebaik-baiknya umat (khairul ummah) dan sebaik-baik makhluk (khairul bariyyah).
Peserta sidang bertepuk tangan. Memberikan ucapan selamat berkali-kali. Saling berdecak kagum. Dari akhwat tersebut, sedikit membuka wawasan mereka tentang islam. Beberapa mahasisiwa lainnya juga memberikan selamat. Harapan dia, semoga dengan contoh ini umat islam tidak ditandai lagi dengan umat yang bodoh, miskin, dan suka kekerasan. Umat islam sangat cerdas, kaya, dan menjunjung tinggi keadilan. Alhamdulillah, seorang akhwat yang bangga dengan dengan agamanya, cerdas dan berwawasan luas, muslimah anggun, sopan, bijak, dan tetap tawadhu, serta memberikan motivasi membangun bagi sesama. Sungguh luar biasa. Seperti mimpi rasanya.

Di beranda sebelah
Muslimah itu saling memberi salam kepada sesama. Menjaga pandangannya. Membalut tubuhnya dengan jilbab yang menutup dada. Cerdas dan berwawasan luas. Menjaga tutur kata serta ukhuwah.
Musholah fakultas siang itu sangat ramai. Adzan dikumandangkan. Di teras, beberapa mahasiswi yang masing berdiskusi segera bubar dan bergegas mengambil air wudhu. Yang lainnya menyapa dengan salam dan jabatan erat, Seolah rindu dalam ukhuwah bertumpu.
“Assalamu’alaikum, bagaimana kabarnya?”
“Wa’ailaikumsalam warahmatullah wabarokatuh, alhamdulillah baik ukh. Anti sediri bagaimana?” jawab akhwat yang disapa.
“Alhamdulillah baik, sudah adzan. Jama’ah dzuhur bareng yuk ukh.”
“Pasti ukhty, ane ambil wudhu dulu ya”
Dimushola akhwat. Barisan shaf sangat indah. Teratur dan serempak. Mahaisiswi yang lain segera mengambil posisi yang kosong. Yang baru datang cepat mengambil wudhu seakan-akan tidak ingin ketinggalan jama’ah dzuhur. Menghadap Sang Illahi dengan barisan yang rapi. Begitu pula dengan jama’ah ikhwan. Ah… membahas ikhwan dan akhwat, apakah mereka mengerti? Semoga, panggilan indah itu tidak hanya mimpi menebar dikampus madani.

Di halaman lain
Rindu bertemu dengan wanita-wanita mulia ada disela-sela belajarku. Seperti bidadari, hingga tak perlu ke surga dulu untuk mencari. Disekitarku ternyata ada. Disetiap tikungan jalan kutemui. Menyapa dengan salam dan saling mendoakan. Mengingatkan ketika lupa. Menyemangati dikala futur. Bersama-sama belajar ilmu Allah SWT. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Meneteskan airmatanya disepertiga malam. Menyibukkan lisannya dengan dzikrullah. Baginya, menjaga akhlak adalah kunci diri. Cinta utamanya hanya Allah SWT dan teladannya adalah rasulullah SAW.
Tiba-tiba motor berdecit, hampir saja menabrak tukang becak yang sedang melintas.
“Astaghfirullah, apa yang sedang aku fikirkan?!” tanya diriku dalam hati. Setengah perjalanan menuju tempat pelantikan kali ini penuh dengan gambar dan rencana apa yang harus aku janjika untuk amanah kedepan. Bukan sekedar janji, mereka butuh bukti. Belum siap rasanya dengan kapasitas diri yang jauh dari harapan. Kesempurnaan hanya milik Allah semata.
“ Ya Allah, kenapa Engkau memilihku untuk tanggung jawab yang luar biasa ini?” pertanyaan yang sering kuulangi dalam hati dan belum menemukan jawaban.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perjalanan aku lanjutkan kembali. Kali ini dipenuhi dengan shalawat berharap selamat sampai di tempat dan diberi kekuatan untuk memantapkan langkah kedepan. Jalanan mulai padat merayap, tapi di kota metropolitan ini, sepeda motor menjadi alat transportasi alteratif mencegah macet. Seperti sekarang, andalanku mengendarai dengan leluasa tanpa mengeluh karena mobil atau kendaraanya tidak bergerak maju. Sambil nyempil di kanan kiri mobil, akhirnya sampai tempat tujuan. Masjid kampus, An-nuur yang masih sepi.
Amanah ada karena kepercayaan seseorang akan kemampuan kita menjaga sesuatu yang nantinya akan kita berikan lagi kepada yang memberi jika sudah diminta. Amanah yang sangat jelas pada diri kita adalah menjadi hambaNya yang selalu beribadah kepada Allah SWT. Kita diciptakan Allah SWT dan diberi amanah untuk menjadi pemimpin dimuka bumi ini. Memimpin diri sendiri dan orang lain serta mengajak dlam kebaikan berseru kepada Allah SWT. Ketika Allah mengambil kita kembali, amanah tersebut akan tetap ada sebelum hari akhir itu tiba, entah kapan. Amanah adalah hal yang menuntut keikhlasan.
Hari ini hari sabtu, suasana pagi di masjid kampus masih sepi. Hanya segelintir akhwat dengn pakaian seragam bergerombol di serambi selatan masjid. Ada yang menyendiri membaca mushaf. Ada yang keluar masuk ruang admin akhwat, ada pula yang mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat dhuha. Kulangkahkan kaki kananku memasuki pelataran masjid. Dari kejauhan Ukh Fitri memberikan sesungging senyum. Aku hanya nyengir. Pahit.
“Assalamu’alaikum bu muslimah, piye kabar anti?”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarokatuh, alhamdulillah baik ukh. Anti pripun?” jawabku sambil aku jabat erat tangannya, rindu tidak lama bersua.
“Sudah siap dilantik jadi ibu muslimah, gimana, siap kan?! Semangat ya dek”
“Jawaban yang susah ukh. Sepertinya ane belum percaya kepada diri ane sendiri. Padahal masih banyak orang-orang hebat lainnya yang lebih tepat untuk memegang jabatan ini. Ane belum ada apa-apanya dari pada anti dan mbak-mbak yang lainnya.” Jawabku sedikit parau.
“Begini dek, dakwah adalah cinta dan cinta itu butuh pengorbanan. Ada seribu alasan untuk berhenti, tapi cukup satu alasan untuk kembali melangkah. Ada seribu alasan untuk berpaling, tapi cukup satu alasan untuk kita menetapkan hati. Semoga satu alasan itu hanya Allah Rabbul’izzati. Anti tidak sendiri. Kami di belakang anti. Selalu mensupport, membantu, dan mendukung anti. Sama-sama saling membantu. Kita huat tim yang solid dek. Pasti bisa, semangat!” Ukhty Fitri meyakinkanku dengan mantab.
“Mbak, pernyataan sampean bikin tambah nyesek. Astagfirullah, ane semakin bersalah karena belum bisa ikhlas menerima ini semu”
Tepukan kuat dari sebuah ukhuwah. Menyadarkan kelengahan diri. Aku merasa, inilah saatnya untuk merealisasikan apa saja yang telah ku gebu dari dulu. Yang telah ku elu-elukan di tiap forum dengan adik binaan. Bahwa dakwah adalah wajib bagi setiap muslim.
Masjid An-Nuur serasa terlihat sangat luas dan lapang. Di dalamnya telah berhimpun orang-orang yang luar biasa. Merapatkan barisan terdepan dan pelantikan pun tinggal beberapa menit lagi.
Acara berjalan tertib dan khidmah. Para calon pengurus rohis kampus diberikan taujih sebelum pelantikan. Menguatkan diri akan amanah yang akan ditangguhkan selama satu tahun kedepan. Menciptakan kampus madani dengan generasi rabani di dalamnya.
“Harus selalu di ingat, amanah adalah sesuatu yang diserahkan ke pihak lain untuk dijaga, dirawat, dan dipelihara dan nantinya akan kita kembalikan lagi kepada yang memberi perintah, Allah SWT. Ada tiga hal yang menjadi bahasan amanah yaitu Allah SWT dengan manusia, manusia dengan manusia, dan manusia dengan dirinya sendiri. Maka patutlah dijaga dan dibanggakan amanah itu, agar terasa bahwa amanah itu ada dan akan diminta pertanggung jawaban” Ustadz menerangkan dengan gaya khasnya. Peserta pelantikan mengangguk paham.
“Dalam ilmu tafsirnya, amanah juga dijelaskan seperti ‘bi’ yang dapat diartikan melekat pada diri orang yang diberi amanah, lebih jelasnya buka QS Ali Imran ayat 75. Amanah tersebut dapat lepas karena dua hal, kematian dan yang memberi amanah memintanya. Kedua adalah ‘ala’ yang artinya tinggi. Sebuah amanah harus lebih tinggi nilainya daripada apa yang diamanahkan. Kepercayaan akan menjadi hal utama dalam amanah, bukan benda atau gelar yang didapatkan, dijelaskan dalam QS Yusuf ayat 11” lanjut ustadz tersebut.
Taujih kali ini benar-benar sangat membangun kepercayaan para pengurus rohis kampus, bahwa amanah itu indah dan memiliki tanggung jawab yang besar bagi yang dimandatkan. Ustadz turun dari podium dan digantikan oleh MC. Acara selanjutnya adalah pelantikan. Hal yang ditunggu-tunggu seisi masjid kampus. Jiwa baru dengan semangat dakwah yang luar biasa akan segera diturunkan di medan perang. Dzikir terus terucap dari hati dan lisan. Berharap semoga keputusan ini bersumber dari Allah SWT semata. Agar gerak dalam jalan selalu diberi kelancaran dan kemudahan.
Ikrar dibacakan. Hati ikut meyakinkan. Bahwa janji harus ditepati. Amanah sudah dipundak. Kepercayaan harus dijunjung. Seisi masjid menyaksikan. Barisan malaikat turut mengamini. Menyaksikan jiwa-jiwa baru pelanjut dakwah.
Aku sendiri, sebenarnya sudah ada mimpi yang ingin ku wujudkan. Seperti mempi saat itu, di sebuah kampus hijau dengan mahasisiwi muslim yang tanggu, berkarakter, dan intelek. Yang ingin menjadi muslimah yang didamba surga. Menjadi bagian dari bidadari dunia. Mungkin, dengan amanah ini Allah membuka jalan untuk mimpiku. Memang tiada sesuatu yang indah melainkan segalanya kita niatkan karenaNya.
Mendung mulai begelayut di langit. Mendung tak selalu menandakan akan turuh hujan, jika memang hujan itu turun, maka nantikanlah pelangi yang indah akan datang. Pelantikan ini ku ikuti dengan lancar dan lapang. Semoga memang ada rencana indahNya untukku dari peristiwa kecil ini. Aku mengerti, hambatan dan tantangan setelah ini tidak sedikit. Sekali lagi, harus tetap berusaha dan optimis. Hingga sedikit mimpi tentang kampus hijau itu akan benar-benar menjadi nyata. Setidaknya, perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri, dari yang paling kecil, dan mulai sekarang. La Tahzan Innalloha ma’ana. Gerimis rintik turun, sebagian mahasisiwi berlari kecil mencari tempat berteduh. Senyum simpul sebagai rasa syukurku oelhNya, semoga semuanay menjadi nyata. ~kazuhanuur~